Sembayang

Oktober 13, 2013

Gambar

Tradisi Makotek

Mei 23, 2010

Ngerebek

Tradisi Makotek di Desa Adat Munggu


Bertepatan dengan Hari Raya Kuningan di adakan mekotek


Bertepatan dengan hari Raya Kuningan. Desa Adat Munggu Mengwi Badung tepatnya pada tanggal 22 Mei 2010 kembali menggelar tradisi Makotekan. Tradisi unik ini dilaksanakan dengan tujuan memohon keselamatan umat. Upacara yang juga di kenal dengan istilah ngerebek ini dilakoni warga secara turun temurun sejak tahun 1932. Di awal makotek menggunakan tombak yang terbuat dari besi. Namun seiring perkembangan zaman dan untuk menghindari peserta yang terluka maka sejak tahun 1948 tombak besi mulai diganti dengan tombak dari bahan kayu pulet. Tombak yang asli dilestarikan dan disimpan di pura. Rangkaian makotek di awali dengan upacara Mendak Batara di Pura Dalem lalu umat mengelilingi desa. Upacara berakhir di Pura Puseh.

Tradisi Unik Di Trunyan

Mei 22, 2010

Desa Tua di Bali

Setra/kuburan


Setra/Sema

Trunyan memiliki tradisi yang unik dalam memperlakukan jenasah warganya. Tidak seperti umat Hindu umumnya di Bali yang melangsungkan upacara ngaben untuk pembakaran jenasah, di Trunyan jenasah tidak dibakar melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan. Dan ini adalah salah satu daya tarik bagi wisatawan untuk datang ke Bali.

Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu, pertama meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah(exposure). Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berkeluarga atau mengemban kehidupan rumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal. Kedua dikubur/dikebumikan, orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya yang terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri, juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal, juga dikubur saat meninggal. Dimana apabila sudah cukup lama, jenasah yang sudah menjadi tulang belulang yang tempatnya sudah digunakan untuk menempatkan jenasah baru akan ditata rapi di pinggir lubang peletakkan jenasah sebelumnya. Jadi jangan jika di pemakaman Trunyan banyak tulang belulang manusia yang berserakan, karena tulang belulang manusia ini sama sekali tidak boleh dikubur maupun dibuang jauh dari pemakaman.

Untuk keperluan pemakaman, di desa Trunyan terdapat 3 kuburan yaitu, Sema Wayah diperuntukkan untuk pemakaman jenis mepasah, Sema Bantas, diperuntukkan untuk pemakaman jenis dikubur dan Sema Nguda, diperuntukkan untuk kedua jenis pemakaman yaitu mepasah maupun penguburan.

Galungan

Mei 16, 2010

Penjor Galungan


Galungan jatuh pada Buda Kliwon wuku Dungulan. Sehari sebelum Galungan disebut Penampahan Galungan. Pada penampahan Galungan ini, umat Hindu lebih terlihat kesibukkannya mempersiapkan segala sesuatu yang akan digunakan untuk upcara Galungan keesokan harinya. Para wanita sibuk mempersiapkan segala jenis canang, bebantenan dan sampian-sampian sedangkan para pria sibuk membuat lawar sebagai sarana persembahan dan juga penjor sebagai satu sarana yang wajib ada pada upacara Galungan ini.

Dan puncaknya yaitu hari raya Galungan, umat hindu akan melakukan persembahyangan ke Pura sebagai bentuk bakti terhadap Sang Hyang Widhi Wasa. Galungan juga sebagai perwujudan bentuk rasa syukur terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena telah berkenan menciptakan segala-segalanya ke dunia. Sedangkan makna perayaan Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma.

TAJEN

April 20, 2010

Siap mepalu


ayam aduan

Tajen merupakan bagian dari acara ritual keagamaan tabuh rah atau prang sata dalam masyarakat Hindu Bali. Yang mana tabuh rah ini mempersyaratkan adanya darah yang menetes sebagai simbol / syarat menyucikan umat manusia dari ketamakan/ keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh rah juga bermakna sebagai upacara ritual buta yadnya yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya.
Sejalan dengan dinamika kehidupan sosial masyarakat Bali, telah terjadi pergeseran makna ritual dan bagian tabuh rah, yang mana makna tabuh rah atau prang sata telah dimanipulasi dan diterminologikan sebagai Tajen. Padahal bila dikaji, tabuh rah dan tajen merupakan suatu pengertian yang berbeda, namun pada kenyataannya tabuh rah dipakai tameng untuk menyelenggarakan tajen.

Ironisnya tajen ternyata mampu berperan sebagai medium interaksi dan komunikasi lintas strata sosial. Latar belakang status sosial menjadi cair dan kabur, masyarakat membaur dan melebur secara fisik dan emosional, semua pihak terfokus pada pertarungan kedua ayam adu. Bahkan tajen oleh masyarakat juga sudah dipandang sebagai salah satu bentuk hiburan dan permainan utnuk menghilangkan kejemuan dan kelelahan fisik setelah melakukan kegiatan berat.

Perang Api

Maret 15, 2010

Malam Pengerupukan

Yang unik di Mataram merayakan Nyepi di malam Pengerupukan mengadakan ritual perang api.
Ritual “Perang Api” yang merupakan tradisi umat Hindu di Mataram sejak 1838 tersebut dilaksanakan di Jalan Selaparang, Cakranegara, yang merupakan lokasi peperangan antara Kerajaan Singosari dan Kerajaan Karang Asem.

Ritual Perang Api


Proses saling serang terjadi setelah para tokoh masyarakat dari masing-masing banjar sudah sepakat untuk memulai “peperangan”. Warga dari kedua banjar tampak beringas melayangkan pukulan dengan bobok yang menyala ke arah tubuh lawannya. Proses saling serang beberapa saat dihentikan oleh Pecalang bersama aparat dari Polsek Cakra Negara.
Setelah “peperangan” berlangsung sekitar 15 menit, akhirnya kedua banjar sepakat menghentikan “peperangan” dan kembali ke rumah masing-masing dengan suasana damai tanpa ada dendam di antara mereka.

Perang Pandan Berduri

Maret 8, 2010

Mekare-Kare

Di Pulau Bali ada ritual perang pandan tepatnya di desa Tenganan, Karangasem dari Denpasar ketimur di ujung Pulau Dewata. Perang pandan adalah pertarungan antar dua orang bersenjatakan daun pandan berduri. Daun pandan dengan ratusan duri pada kedua sisinya merupakan senjata yang sangat efektif dalam memunculkan rasa nyeri bahkan hingga luka gores yang mengeluarkan banyak darah.

Perang pandan berduri


Perang sengit


Keberanian dan kemampuan menahan rasa nyeri merupakan dua hal yang mutlak dibutuhkan untuk bisa berpartisipasi dalam ritual ini. Tiap laki-laki yang hendak turut serta dalam perang pandan menyiapkan dirinya dengan daun pandan berduri dengan panjang sekitar 30 cm sebanyak 4-8 lembar yang diikat dengan seutas tali. Mereka bertarung dengan mengenakan kelengkapan pakaian tradisional Bali namun dalam kondisi bertelanjang dada. Untuk proses bertahan mereka akan dilengkapi dengan tamiang yang terbuat dari anyaman ata (sejenis rotan).
Masing-masing peserta menentukan lawannya masing-masing, tidak ada aturan yang baku mengenai tata cara pertarungan tersebut. Pertarungan dilakukan secara bergilir dengan diawasi oleh para tetua atau pemangku adat. Setiap peserta diperkenankan untuk saling menyerang dengan cara mengeret padan berduri pada bagian tubuh mulai dari kepala hingga pinggang. Selain dengan cara mengeretkan pandan dan menangkis dengan tamiang, tindakan bertarung dengan cara lain seperti memukul atau menendang tidaklah diperkenankan.

Sering menjadi pertanyaan banyak orang bagaimana sebuah pertarungan yang melibatkan “emosi” bisa dikatakan dilakukan dengan damai? Jawabanya ada pada pertarungan itu sendiri, pertarungan tidak bertujuan untuk mencari pihak yang menang ataupun kalah. Tetapi pertarungan merupakan bagian bakti mereka untuk menyatakan ketaatan dan kesungguhan hatinya dalam memuja Tuhan. “Emosi” terkendali merupakan pemacu adrenalin untuk memompa semangat bertarung yang kemudian akan diakhiri klimaks perasaan bahagia dan damai karena telah melakukan bhakti.

Bali Pulau Dewata

Februari 11, 2010

Pulau Dewata

Patung Catur Muka di Jantung Kota Denpasar


Monumen Bajra Sandhi


PULAU BALI
Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang pada 3000-2500 SM yang bermigrasi dari Asia.[2] Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik yang terletak di bagian barat pulau.[3] Zaman prasejarah kemudian berakhir dengan datangnya ajaran Hindu dan tulisan Sansekerta dari India pada 100 SM.[rujukan?]
Kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kuat kebudayaan India, yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Balidwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai prasasti, diantaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M dan menyebutkan kata Walidwipa. Diperkirakan sekitar masa inilah sistem irigasi subak untuk penanaman padi mulai dikembangkan. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Kerajaan Majapahit (1293–1500 AD) yang beragama Hindu dan berpusat di pulau Jawa, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali sekitar tahun 1343 M. Saat itu hampir seluruh nusantara beragama Hindu, namun seiring datangnya Islam berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di nusantara yang antara lain menyebabkan keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta, artis, dan masyarakat Hindu lainnya yang ketika itu menyingkir dari Pulau Jawa ke Bali.
Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman dari Belanda pada 1597, meskipun sebuah kapal Portugis sebelumnya pernah terdampar dekat tanjung Bukit, Jimbaran, pada 1585. Belanda lewat VOC pun mulai melaksanakan penjajahannya di tanah Bali, akan tetapi terus mendapat perlawanan sehingga sampai akhir kekuasaannya posisi mereka di Bali tidaklah sekokoh posisi mereka di Jawa atau Maluku. Bermula dari wilayah utara Bali, semenjak 1840-an kehadiran Belanda telah menjadi permanen, yang awalnya dilakukan dengan mengadu-domba berbagai penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur, dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang sampai mati atau puputan, yang melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita termasuk rajanya. Diperkirakan sebanyak 4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda telah memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah.
Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II, dan saat itu seorang perwira militer bernama I Gusti Ngurah Rai membentuk pasukan Bali ‘pejuang kemerdekaan’. Menyusul menyerahnya Jepang di Pasifik pada bulan Agustus 1945, Belanda segera kembali ke Indonesia (termasuk Bali) untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonialnya layaknya keadaan sebelum perang. Hal ini ditentang oleh pasukan perlawanan Bali yang saat itu menggunakan senjata Jepang.
Pada 20 November 1940, pecahlah pertempuran Puputan Margarana yang terjadi di desa Marga, Kabupaten Tabanan, Bali tengah. Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang berusia 29 tahun, memimpin tentaranya dari wilayah timur Bali untuk melakukan serangan sampai mati pada pasukan Belanda yang bersenjata lengkap. Seluruh anggota batalion Bali tersebut tewas semuanya, dan menjadikannya sebagai perlawanan militer Bali yang terakhir.
Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali sebagai salah satu dari 13 wilayah bagian dari Negara Indonesia Timur yang baru diproklamasikan, yaitu sebagai salah satu negara saingan bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan dan dikepalai oleh Sukarno dan Hatta. Bali kemudian juga dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember 1949. Tahun 1950, secara resmi Bali meninggalkan perserikatannya dengan Belanda dan secara hukum menjadi sebuah propinsi dari Republik Indonesia.
Letusan Gunung Agung yang terjadi di tahun 1963, sempat mengguncangkan perekonomian rakyat dan menyebabkan banyak penduduk Bali bertransmigrasi ke berbagai wilayah lain di Indonesia.
Tahun 1965, seiring dengan gagalnya kudeta oleh G30S terhadap pemerintah nasional di Jakarta, di Bali dan banyak daerah lainnya terjadilah penumpasan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Di Bali, diperkirakan lebih dari 100.000 orang terbunuh atau hilang. Meskipun demikian, kejadian-kejadian di masa awal Orde Baru tersebut sampai dengan saat ini belum berhasil diungkapkan secara hukum.[4]
Serangan teroris telah terjadi pada 12 Oktober 2002, berupa serangan Bom Bali 2002 di kawasan pariwisata Pantai Kuta, menyebabkan sebanyak 202 orang tewas dan 209 orang lainnya cedera. Serangan Bom Bali 2005 juga terjadi tiga tahun kemudian di Kuta dan pantai Jimbaran. Kejadian-kejadian tersebut mendapat liputan internasional yang luas karena sebagian besar korbannya adalah wisatawan asing, dan menyebabkan industri pariwisata Bali menghadapi tantangan berat beberapa tahun terakhir ini.

Tradisi Unik Di Denpasar Selatan

Februari 11, 2010

Omed-omedan


omed-omedan


Masyarakat di Bali, khususnya yang berada di kawasan banjar Kaja, Sesetan Denpasar memiliki tradisi yang cukup unik. Tradisi ini disebut med-medan. Med-medan berasal dari kata omed-omedan yang artinya saling tarik. Tradisi ini rutin dilangsungkan pada Ngembak Geni, sehari setelah Hari Raya Nyepi.

Sebelum med-medan dimulai, anggota sekaa teruna melakukan persembahyangan bersama di Pura Banjar Kaja dipimpin pemangku setempat.

Acara diawali dengan pementasan tarian barong bangkal di lokasi med-medan, tepatnya di jalan raya jurusan Sesetan-Kota Denpasar atau di depan Balai Banjar Kaja, Sesetan. Selanjutnya puluhan anggota sekaa teruna yang sudah mengenakan pakaian adat madya membagi diri. Anggota laki-laki berada di kiri (utara jalan) dan perempuan berada di kanan (selatan).

Ketika aba-aba dimulai, masing-masing kelompok berlarian melintasi lokasi lawan jenis. Air PAM pun dikucurkan oleh anggota krama banjar ke tubuh mereka dengan menggunakan ember dan selang. Dalam keadaan basah kuyup mereka ”mengunggulkan” salah satu anggotanya untuk dihadap-hadapkan dengan anggota lawan jenis. Tarik-tarikan pun terjadi. Anggota laki-laki memegang tubuh sang perempuan, sehingga terjadi saling omed (saling tarik). Kesan romantis juga tampak ketika padangan mata saling beradu. Saat kedua bibir muda-mudi itu sudah melekat bak perangko dan amplop, tanpa dikomando para penonton langsung mengambil air yang sudah tersedia dan menyiramkan keduanya sehingga basah kuyup. Dalam kondisi demikian, keduanya pun melepaskan lekatan bibir keduanya. Demikianlah seterusnya hingga semua kebagian.

Lalu, bagaimana tradisi ini bisa terjadi?

Med-medan dulunya hanyalah sebuah kebiasaan. Tetapi belakangan oleh krama Banjar Kaja Sesetan dijadikan acara yang sakral. Munculnya med-medan bermula dari sembuhnya seorang sesepuh Puri Oka Sesetan, AA Made Raka dari suatu penyakit. Kapan itu terjadi, tak disebutkan secara pasti.

Oleh karena menderita sakit, tokoh puri itu tidak menginginkan adanya keramaian (med-medan) di hari raya Nyepi. Tetapi krama banjar memberanikan diri membuatnya dengan segala risiko. Mendengar adanya keramaian, AA Made Raka berusaha mendatanginya. Tetapi aneh, sakit yang dideritanya sembuh seketika setelah menyaksikan acara tersebut. Dari situ muncul upaya tetap melaksanakan tradisi tersebut di Hari Raya Nyepi.

Belakangan, tepatnya pada zaman Belanda, med-medan sempat dilarang. Kendati demikian tidak menyurutkan krama untuk tetap melanjutkan tradisi unik tersebut. Kegiatan pun lantas dilangsungkan secara sembunyi-sembunyi.

Med-medan juga sempat ditiadakan karena ada penyimpangan berupa adegan ciuman. Tetapi peristiwa aneh pun terjadi. Sepasang babi yang tidak diketahui asal-muasalnya berkelahi di halaman Pura Banjar. Darah babi pun berceceran di mana-mana. Warga banjar yang melihat kejadian itu sertamerta melerainya, tetapi tak berhasil. Akhirnya, ada bawos (pawisik) agar med-medan tetap dilangsungkan. Begitu tradisi itu dilangsungkan, kedua ekor babi itu menghilang tanpa jejak. Darah yang tadinya terlihat membasahi tanah, hilang seketika. Sejak itulah krama tidak berani lagi meniadakan med-medan sehingga lestari sampai sekarang.
Jika Anda tergoda untuk turut serta dalam tradisi ini, sebaiknya tahan diri. Sebab, tradisi ini hanya dikhususkan bagi warga setempat, dan orang dari luar banjar Kaja tidak diperkenankan ikut.

Gunung Batur

Januari 30, 2010

Gunung Batur merupakan sebuah gunung berapi aktif bertipe strato di dalam kaldera di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, Indonesia. Ketinggiannya 1.717mdan koordinat 8°14′5″ LS 115°22′5″ BT. Terletak di barat laut Gunung Agung, gunung ini memiliki kaldera berukuran 13,8 x 10 km dan merupakan salah satu yang terbesar dan terindah di dunia (van Bemmelen, 1949). Pematang kaldera tingginya berkisar antara 1267 m – 2152 m (puncak G. Abang). Di dalam kaldera I terbentuk kaldera II yang berbentuk melingkar dengan garis tengah lebih kurang 7 km. Dasar kaldera II terletak antara 120 – 300 m lebih rendah dari Undak Kintamani (dasar Kaldera I). Di dalam kaldera tersebut terdapat danau yang berbentuk bulan sabit yang menempati bagian tenggara yang panjangnya sekitar 7,5 km, lebar maksimum 2,5 km, kelilingnya sekitar 22 km dan luasnya sekitar 16 km2 yang yang dinamakan Danau Batur. Kaldera Gunung Batur diperkirakan terbentuk akibat dua letusan besar, 29.300 dan 20.150 tahun yang lalu.

Gunung Batur terdiri dari tiga kerucut gunung api dengan masing-masing kawahnya, Batur I, Batur II dan Batur III.

Gunung Batur


Letusan

Gunung Batur telah berkali-kali meletus. Kegiatan letusan G. Batur yang tercatat dalam sejarah dimulai sejak tahun 1804 dan letusan terakhir terjadi tahun 2000. Sejak tahun 1804 hingga 2000, Gunung Batur telah meletus sebanyak 26 kali dan paling dahsyat terjadi tanggal 2 Agustus dan berakhir 21 September 1926. Letusan Gunung Batur itu membuat aliran lahar panas menimbun Desa Batur dan Pura Ulun Danu Batur.

Desa Batur yang baru, dibangun kembali di pinggir kaldera sebelah selatan Kintamani. Pura Ulun Danu dibangun kembali, hingga saat ini masih terkenal sebagai pura yang paling indah di Bali. Pura ini dipersembahkan untuk menghormati “Dewi Danu” yakni dewi penguasa air, seperti halnya pura yang terdapat di Danau Bratan juga dipersembahkan untuk memuja “Dewi Danu”.